SEJARAH RA. KARTINI - RA. Kartini adalah pahlawan nasional yang sangat berjasa dalam sejarah bangsa
Indonesia khususnya kaum wanita. Dalam masa penjajahan Belanda yang sempat
menduduki ibu pertiwi, kaum wanita pribumi dikesampingkan hak-hak dalam
mendapatkan fasilitas pendidikan dan mengemukakan pendapat.
Namun itu hanya sekelumit dari sejarah hidup dari RA. Kartini. Lalu apa
saja perjuangan hidup yang selama ini diusahakan oleh RA. Kartini? Berikut
adalah sejarah singkatnya.
1.
Biografi
Singkat RA. Kartini
Kartini lahir dari
keluarga priyayi dan memiliki nama panjang Raden Adjeng Kartini. Ayahnya Raden
Mas Adipati Ario Sosroningrat adalah seorang patih yang diangkat menjadi bupati
Jepara. Ibunya bernama M.A. Ngasirah adalah seorang guru agama di salah satu
sekolah di Telukawur, Jepara.
Jika diurutkan dari
asal usul silsilah maka keluarga Kartini yang dari ayahnya merupakan trah
keturunan dari Sultan Hamengkubuwono IV. Keluarga Kartini masih keturunan
Sosroningrat dari silsilah kerajaan Majapahit.
2. Awal Perjuangan RA. Kartini
Sejarah perjuangan RA.
Kartini berawal saat beliau berumur 12 tahun. Saat itu beliau ingin melanjutkan
pendidikannya ke jenjang yang lebih tinggi namun dilarang oleh orang tuanya.
RA. Kartini yang
lulusan dari Europese Lagere School (ELS) sangat fasih dalam berbahasa Belanda
sehingga beliau merasa sanggup mengikuti jenjang yang lebih tinggi dengan
kemampuan tersebut.
Namun penjelasan itu
tidak dihiraukan oleh ayahnya yang melarang RA.Kartini untuk mengejar cita-cita
bersekolah. Alasannya tidak lain dan tidak bukan karena usia beliau yang sudah
12 tahun menandakan bahwa saatnya untuk dipingit dan segera menikah.
Saat itu beliau tidak
punya pilihan lain selain ikut apa kata orang tuanya yang artinya RA. Kartini
harus menjalani pingit.
3. RA. Kartini Dalam Masa Pingitan
Selama dipingit itulah
beliau menulis surat-surat kepada teman berkirim suratnya yang sebagian besar
orang Belanda. Disitulah beliau kemudian mengenal Rosa Abendanon yang sangat
mendukung perjuangan RA. Kartini untuk mendapatkan hak-hak sebagai manusia
meski dia perempuan.
Semetara itu Rosa
Abendanon juga sering mengirimkan buku-buku dan surat kabar dari Eropa pada RA.
Kartini kecil sehingga pemikirannya menjadi lebih maju. Dalam surat kabar
tersebut memberitakan wanita-wanita Eropa memiliki kedudukan yang sama untuk
meraih hak-haknya sedangkan di Indonesia wanita berada pada strata sosial yang
amat rendah.
4. Akhir Pingitan dan Awal dari Cita-cita RA. Kartini
Pada saat RA. Kartini
berusia 20 tahun beliau sudah menyelesaikan buku-buku seperti De Stille Kraacht
milik Louis Coperus, Max Havelaar dan juga Surat-Surat Cinta yang ditulis
Multatuli dan Van Eeden, Roman-feminis dari Goekoop de-Jong Van Beek dan Die
Waffen Nieder mengenai Roman anti-perang oleh Berta Von Suttner. Buku-buku
bertulisan belanda tersebut membuat beliau makin terbuka pikirannya dan semakin
maju.
Kemudian pada tanggal
12 November 1903 pingitan berakhir dan beliau harus menikah dengan bupati
Rembang bernama K.R.M. Adipati Ario Singgih Djojo Adhiningrat atas pilihan
orang tuanya. Saat itu RA. Kartini berstatus istri kedua bupati Rembang
tersebut. Meski begitu suaminya sangat mendukung cita-cita beliau dan bahkan
memperbolehkan RA. Kartini membangun sekolah khusus wanita.
5. Akhir Hayat dan Perjuangan yang Diteruskan
Selama pernikahannya,
RA. Kartini dikaruniai satu putra bernama Soesalit Djojoadhiningrat. RA.
Kartini kemudian menghembuskan nafas terakhirnya empat hari setelah melahirkan.
Beliau wafat pada usia 25 tahun.
Perjuangan RA. Kartini
tidak terhenti bahkan setelah beliau wafat. Perjuangan tersebut diteruskan oleh
sahabatnya Rosa Abendanon yang membukukan surat-surat keduanya menjadi sebuah
buku.Buku itu diberi judul Door Duisternis tot Licht yang artinya “Dari
Kegelapan Menuju Cahaya".
6. Habis Gelap Terbitlah Terang
Buku Door Duisternis
tot Licht buah pikiran RA. Kartini tersebut diterbitkan pada tahun 1911 dan disebarluaskan
di eropa dan kemudian di Indonesia dalam bahasa Belanda. Pada tahun 1922 buku
tersebut diterjemahkan dalam bahasa Melayu oleh Balai Pustaka. Buku terjemahan
tersebut diberi judul “Habis Gelap Terbitlah Terang: Buah Pikiran".
Selanjutnya pada tahun
1938, sastrawan Armijn Pane menerbitkan terjemahan dalam judul “Habis Gelap
Terbitlah Terang" yang berisi lima bab cara berpikir RA. Kartini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar